Terbukanya akses ke fasilitas keuangan dan peluang menambah keahlian telah membantu para nelayan, petani kakao, dan warga lain Aceh dan Sumatera Utara menjangkau pasar yang lebih luas untuk produk-produk mereka.

Banda Aceh, Indonesia – Ketika Aceh kembali menggeliat setelah luluh lantak oleh bencana tsunami pada 2004, Rahmat Rizal mengubah haluan cita-citanya. Berharap hidup yang lebih baik, ia meninggalkan pekerjaan lamanya di industri konstruksi untuk menjadi nelayan. 

Namun ia segera sadar, perjuangannya belum berakhir. Nelayan termasuk dalam kelompok masyarakat yang paling miskin di Aceh. Pekerjaan nelayan juga semakin berat saat ini, dengan adanya perubahan iklim. Suhu air laut yang menghangat membuat ikan makin sulit ditangkap karena binatang ini berpindah ke laut dalam yang lebih dingin.

Perairan Aceh kaya akan tuna, dan beberapa jenisnya sebenarnya memenuhi standar tinggi, antara lain seperti yang dipatok oleh pasar sushi di Jepang. Tuna yang ditangkap dengan cara dipancing manual menggunakan kail dihargai sangat tinggi di negara tersebut. Sayangnya, nelayan seperti Rahmat waktu itu belum memiliki pengetahuan yang cukup, atau peralatan yang memadai untuk menyimpan hasil tangkapan secara baik, agar kualitas ikan dapat tetap terjaga. Mereka juga tidak memiliki akses pada fasilitas keuangan. Mereka juga tidak tahu cara untuk berhubungan dengan pelanggan yang berpeluang membayar tangkapan mereka dengan harga mahal.

"Saat ini kami sudah belajar cara yang benar untuk menyimpan ikan setelah ditangkap agar layak diekspor," kata Rahmat. Ia ditemui saat membersihkan alat pancingnya di dermaga Ulee Lheue, Banda Aceh. "Sebelumnya, kami tidak paham sama sekali tentang cara membersihkan insang, isi perut ikan, juga darahnya, agar ikan bisa dijual dengan harga grade A. Yang kami tahu adalah memukul ikan begitu saja dengan tongkat hingga mati, lalu melemparnya ke kotak es batu yang juga tidak bersih."

Akses ke keuangan dan keahlian

Minimnya akses pada fasilitas keuangan, juga akses pada pendidikan keahlian yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk berkualitas tinggi, adalah masalah umum di Aceh. Potensi besar produk pertanian terkebiri ketiadaan modal untuk mendanai pengembangan usaha, serta terbatasnya pengetahuan untuk menghasilkan produk bermutu.

“Banyak produk yang bisa menjadi industri besar di sini. Kita harus memberdayakan masyarakat dengan membantu mereka memulai bisnis mereka sendiri.”

Amhar Abubakar

Nyaris semua pekerjaan di provinsi yang dihuni sekitar 4,5 juta orang tersebut merupakan usaha berskala kecil. Namun jumlah kredit yang tersedia untuk modal kerja sangat sedikit, hanya sekitar seperempat dari total kredit nasional keseluruhan. Bunga kredit juga tinggi dan banyak petani yang tidak memiliki agunan. Pertanian dipandang sebagai sektor yang berisiko tinggi, dan menjadi alasan umum yang digunakan bank yang enggan menyalurkan pinjaman.

"Ada begitu banyak produk yang berpotensi menjadi industri besar, tapi kami tidak memiliki dukungan finansial sehingga semua sia-sia," kata Amhar Abubakar, Kepala Badan Pengembangan Aceh di Banda Aceh. "Kita perlu memberdayakan masyarakat dengan membantu mereka untuk memulai bisnis mereka sendiri."

Pada 2013, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Sumatera Utara bermitra dengan Asian Development Bank dan Japan Fund for Poverty Reduction (Dana Jepang untuk Pengentasan Kemiskinan, JFPR) untuk membantu mengatasi masalah ini. Proyek yang dijalankan adalah bantuan teknis bertajuk Peningkatan Akses ke Keuangan di Aceh dan Sumatera Utara. Proyek ini menyediakan pinjaman dan pelatihan untuk beberapa warga termiskin di provinsi tersebut, termasuk nelayan, petani, dan masyarakat lain.

Khusus untuk nelayan Aceh, tujuan utama proyek adalah menjalankan beragam bisnis proses untuk menaikkan kualitas produksi, dengan berfokus pada dua tangkapan: ikan tuna dan udang.

Koneksi ke pasar baru

Proyek ini menghubungkan nelayan lokal seperti Rahmat -yang kebanyakan tidak memiliki pelatihan khusus dan hidup di bawah garis kemiskinan- dengan asosiasi nelayan dan perusahaan pengolahan Aceh, Nagata Prima Tuna. Sekarang, Nagata membeli dan memroses tuna dari para nelayan. Perusahaan ini memotong mata rantai penjualan yang didominasi agen dari Medan yang membayar harga yang sama untuk semua grade produk, karena tujuannya sekadar memroduksi ikan kalengan. Selain itu, diberikan pula beragam pelatihan kepada nelayan tentang bagaimana mempersiapkan ikan mereka agar mencapai grade A, standar tuna untuk pasar ekspor.

“Saya akan mewariskan ini semua untuk anak-anak saya. Suatu kebahagiaan bagi saya bisa memberi mereka sumber penghasilan yang baik.”

Muhammad Gade

Dampaknya sungguh luar biasa. Jumlah tuna tangkapan yang berhasil mendapat grade A naik menjadi 20%. Artinya, pendapatan nelayan yang berpartisipasi dalam proyek juga naik 30%, atau menjadi sekitar Rp5 juta per bulan. Data tersebut diperoleh dari Almer Haves dari Nagata Prima Tuna. Rahmat sendiri mengakui bahwa penghasilannya telah menjadi berlipat ganda semenjak ia menjual ikan ke Nagata.

Saat ini, Nagata mengekspor tuna dari Aceh ke Jepang, Korea Selatan, Thailand, Viet Nam, Amerika Serikat, dan Singapura. Perusahaan tersebut mengirim satu kontainer tuna tiap 20 hari. Bandingkan dengan pengiriman sebelumnya yang hanya sekali tiap 45 hari. "Ini perkembangan yang sangat baik untuk para nelayan," kata Almer.

Membangun bisnis baru

Kabupaten Pidie Jaya, yang berjarak beberapa jam berkendara dari Banda Aceh, adalah satu dari beberapa daerah yang masuk kategori termiskin di provinsi Aceh. Di situlah Muhammad Gade, 58, menghabiskan hampir seumur hidupnya bertanam kakao. Hingga beberapa waktu lalu, ia hanya bisa menjual hasil panennya kepada pedagang lokal, seharga Rp12.000 per kilogram.

Ia dulu selalu berada di pihak yang kalah. "Saya tidak pernah paham harga pasaran, sehingga selalu dikelabui," kenangnya. "Sekarang saya sudah tidak mempan ditipu lagi."

Seperti halnya 50 petani lain di Pidie Jaya, Muhammad saat ini menjual biji kakaonya kepada koperasi yang pendiriannya dibantu ADB dengan dana dari JFPR. Bantuan tersebut diperolehnya kira-kira setahun setelah bencana tsunami, dengan tujuan membantu pengusaha kecil melalui pemberian kredit berbunga rendah. Pada 2010, sebagian dari dana sejumlah $2,5 juta digunakan untuk membangun pabrik pengolahan cokelat yang pertama di Aceh, memasok dana produksi, serta melatih pegawai agar bisa menjaga kualitas produk sekaligus membuka lini pemasarannya.

Hasilnya adalah Socolatte, sebuah bisnis yang sangat berkembang di bidang bubuk kakao dan beragam olahan cokelat. Irwan Ibrahim, petugas koperasi yang menjalankan bagian produksi pabrik, mengatakan bahwa pabrik membayar biji kakao dari petani dengan harga lebih mahal ketimbang harga pasar. Hal tersebut dilakukan demi mendorong petani meningkatkan kualitas biji kakao hasil panen mereka.

"Jika pasar membayar Rp40.000 per kilogram, saya akan membeli kakao yang sama seharga Rp45.000," kata Irwan, yang ditemui di kios kecil Socolatte yang menjual minuman cokelat dan aneka permen dalam kemasan warna terang. "Permintaan sungguh melebihi pasokan. Kami mulai usaha ini dengan lima karyawan, dan saat ini sudah menjadi 30 orang."

Pengetahuan lebih baik untuk hasil panen prima

Para petugas mendidik petani mengenai metode produksi terbaik, lengkap dengan cara memilih hasil panen atau seleksi varietas. Seleksi tersebut dilakukan sendiri oleh para petani terhadap pohon yang hendak dipanen. Berkat pendidikan tersebut, hasil panen dari lahan pertanian milik Muhammad bertambah hingga setengah ton per tahun. Dengan sungguh-sungguh, ia ikuti pelatihan tentang perawatan pohon, cara memotong dahan, dan cara mengembangkan dedaunan agar menutup bagian bawah pohon, untuk melindungi akar dari paparan sinar matahari. Lima ekor anjingnya bersiaga mengusir monyet-monyet yang hendak mencuri biji kakao.

Hasilnya, pohon di lahannya yang berada di lereng gunung tersebut menjadi lebih besar dan menghasilkan buah yang lebih bagus. "Sebelumnya, penghasilan saya sekitar Rp4 juta per bulan. Saat ini saya bisa memperoleh sedikitnya Rp6 juta," katanya.

Yusuf Ibrahim, rekan Muhammad, juga memetik keuntungan yang sama dari pelatihan. Penghasilannya bertambah. "Keluarga saya biasa makan apa adanya," katanya. "Kini, kami bisa memilih makanan yang kami mau."

Memang, usaha-usaha kecil di Aceh masih harus menghadapi beragam tantangan, namun saat ini terlihat adanya harapan. Para nelayan di Ulee Lheue sangat berharap suatu saat bisa membeli kapal yang lebih besar, untuk menghadapi persaingan dengan pengusaha besar. Mereka juga membutuhkan pancing yang lebih baik untuk bisa menjangkau ikan di laut yang lebih dalam. Sementara Socolatte berhap suatu saat nanti bisa menembus pasar asing, misalnya Korea Selatan, selain mengharapkan dana tambahan untuk melengkapi peralatan produksi.

Di luar semua itu, mimpi Muhammad sebagai petani kakao sederhana saja. "Saya ingin mewariskan usaha ini untuk anak-anak saya," katanya sambil menunjuk perkebunannya. "Bahagia rasanya bisa mewariskan usaha yang telah berhasil pada mereka."

John Larkin adalah Spesialis Senior Hubungan Eksternal di Departemen Hubungan Eksternal ADB. Pelajari lebih lanjut tentang kinerja ADB di Indonesia dan ikuti twit Resident Mission Indonesia.

SHARE THIS PAGE