Sebuah program keuangan mikro di Sumatera Utara telah membantu mengatasi ketakutan terhadap institusi finansial. Ketakutan tersebut dimiliki masyarakat karena selama ini tidak tersentuh sistem keuangan. Program tersebut sekaligus membantu mengembangkan usaha kecil yang mereka miliki.

Pagi itu, Jalan Batang Kuis di Sumatera Utara, mulai ramai oleh kendaraan yang lalu lalang. Siti, pemilik salah satu kedai di tepinya, sibuk menyiapkan aneka hidangan yang digoreng. Menu yang disajikan kedai tersebut populer di kalangan pengendara motor yang melintas, juga sangat dikenal oleh masyarakat sekitar.

"Dulu kedai saya belum seperti ini," ujarnya. "Saya mulai hanya dengan kedai kecil, yang menjual es teh untuk anak-anak sekolah."

Menyadari ada peluang bisnis, Siti berupaya memperbanyak macam dagangan, juga menambah luasan kedai, sekadar ada tempat duduk untuk pembeli yang ingin makan sambil istirahat. Lalu, seorang kerabat memperkenalkan ibu dua anak tersebut pada program keuangan mikro yang dimiliki bank milik pemerintah daerah, Bank Sumut. Ia akhirnya mengambil kredit untuk membeli peralatan memasak, yang akhirnya sangat membantunya memperbesar usaha, hingga bisa menjual beragam masakan.

Siti adalah salah satu nasabah program keuangan mikro yang dikelola oleh Bank Sumut. Program ini merupakan bagian dari kegiatan pemulihan mata pencaharian, yang digagas oleh Proyek Bantuan Darurat Gempa Bumi dan Tsunami milik ADB (ADB Earthquake and Tsunami Emergency Support Project), sebagai respon atas bencana tahun 2004.

Keuangan Mikro Khusus Perempuan

Dirancang serupa program keuangan mikro yang digagas Bank Grameen, Bank Sumut menyediakan pinjaman lunak untuk sekelompok perempuan, sekitar 15 hingga 20 orang per kelompok. Sebagian besar anggota kelompok adalah ibu rumah tangga yang mengerjakan bisnis kecil-kecilan. Pengembalian pinjaman dilakukan dalam bentuk cicilan mingguan yang sangat ringan. Pinjaman lanjutan dengan jumlah lebih besar dapat diambil setelah pinjaman sebelumnya lunas. Bank hanya memungut bunga sangat kecil, namun karena nasabahnya cukup banyak, program ini tetap menguntungkan pihak bank.

"Pada 2005, keuangan mikro adalah hal yang sangat baru untuk kami semua," kenang Abdul Hamid, pegawai Bank Sumut yang bertugas menangani keuangan mikro. "Sebagai bank, yang dulu kami lakukan hanyalah menunggu nasabah untuk datang ke kantor kami. Padahal, dari sisi nasabah, ternyata para ibu tidak percaya diri untuk datang ke bank dan meminjam dana."

Hal itulah yang terjadi pada Wiwik. Pada 1994, ibu muda dari desa Batang Kuis ini belajar menjahit, dan dua tahun setelahnya bisa membeli sebuah mesin jahit. Ia lalu menerima jasa menjahit kecil-kecilan di rumahnya. Hingga 15 tahun berlalu, ia masih tetap setia pada satu mesin, mengerjakan pesanan jahitan dari tetangga-tetangganya.

"Entah megapa saya tak pernah bisa menabung untuk membeli mesin jahit baru, juga tidak mampu melengkapi peralatan jahit," katanya. "Saya tahu ada pinjaman bank yang bisa saya pergunakan, tapi saya takut. Saya tidak pernah pergi ke bank seumur hidup saya. Bagaimana kalau nanti saya tidak bisa melunasi pinjaman?"

Pada akhirnya Wiwik tidak perlu mengunjungi bank untuk memperoleh pinjaman pertamanya. Bersama-sama dengan beberapa ibu rumah tangga di sekitar rumahnya, ia diundang hadir di kantor kelurahan. Di situ, sudah menunggu pegawai Bank Sumut yang menjelaskan tentang program keuangan mikro.

"Setelah mendengar penjelasan lengkap dari petugas itu, saya yakin bahwa program pinjaman yang diberikan tidak akan memberatkan saya," ujarnya. "Cicilan mingguannya ringan sekali. Saya optimis bisa melunasinya."

Hari ini, Wiwik memiliki lima mesin jahit dan peralatan jahit yang lengkap. Ia juga mempekerjakan beberapa tetangga. "Saya sangat bersyukur, berkat program keuangan mikro, usaha saya bisa berkembang. Tidak hanya menguntungkan saya dan keluarga, tapi juga bermanfaat bagi para tetangga yang bekerja pada saya."

Kini Wiwik bahkan menyediakan bahan pakaian di butiknya. "Jadi siapa saja bisa datang, memilih bahan dan model pakaian yang dikehendaki, diukur badannya, lalu pulang. Tiga minggu setelah itu, baju sudah siap, tinggal diambil."

Wiwik saat ini sedang menunggu proses aplikasi untuk pinjaman kelima. Ia merasa nyaman dengan program keuangan mikro terutama karena program tersebut dilakukan bersama-sama dalam satu kelompok. Dengan demikian, setiap anggota kelompok punya tanggung jawab untuk bersama-sama menjaga agar pinjaman tidak macet. "Tentu saja ada masa-masa sulit, saat bisnis sedang lesu. Tapi karena kami satu kelompok, kami bisa saling bantu dan berbagi tanggung jawab," tuturnya gembira.

Keuangan yang mengubah kehidupan

Setelah Proyek Bantuan Darurat Gempa Bumi dan Tsunami ADB berakhir, program keuangan mikro tetap berjalan, kali ini dikembangkan sendiri oleh Bank Sumut. Namun ADB tetap berkontribusi dengan memberikan bantuan teknis untuk membimbing bank-bank lokal di kawasan ini mengembangkan produk-produk keuangan lokal. ADB juga memberikan penyuluhan agar masyarakat makin melek finansial.

Lebih jauh, Abdul Hamid menyebutkan bahwa program keuangan mikro tidak hanya bermanfaatkan bagi masyarakat seperti Wiwik dan Siti, namun juga menyuntikkan semangat pada bank yang menjalankan program. "Sebagai tim di lapangan, kami merasa bahwa kami tidak sekadar menjual produk keuangan. Kami bekerja untuk membantu masyarakat memperbaiki taraf hidup mereka."

Setelah memulai pinjaman pertamanya setahun silam, Siti makin sibuk belakangan ini. Dia sudah memperbesar bisnisnya dan membuat kedainya makin nyaman bagi pelanggan. Tentu saja, kini menu yang ia sediakan juga makin beragam, melengkapi menu ayam dan lele goreng yang terkenal renyah itu.

"Ada pelanggan yang mengaku, ia sengaja jauh-jauh datang ke sini dari kota lain hanya untuk mencoba lele goreng masakan saya," katanya sambil tertawa bangga.

Cahyadi Indrananto adalah petugas hubungan eksternal di kantor perwakilan ADB Indonesia. Silakan ikuti kiprah lain ADB dalam ADB's work in Indonesia.

SHARE THIS PAGE